Loh loh kok saya mau nulis sesuatu seperti ini ya??? Yah...anggap saja sedikit "pelampiasan" atas apa yang pernah saya alami sebelumnya. Dan saat ini, di tengah tumpukan kertas yang ga jelas lagi macamnya saya mencoba untuk sedikit rehat dan mengumpulkan sisa-sisa kesadaran yang sedang berjuang di tengah keloyoan dan "kontroversi hati".
Beberapa bulan yang lalu, ada seorang penghuni kosan baru datang untuk menjadi penduduk tetap selama 4 bulan. Kosan saya yang aman dan tentram ditambah dengan penghuninya yang sangat menjungjung tinggi kebersamaan tentu saja ga bakal nolak. Toh makin banyak yang tinggal makin rame. Ditambah lagi keheterogenan kami akan semakin menambah daya sosialisasi dan keluasan sudut pandang kami *uhuk. Penduduk kosan lama memang sangat majemuk, mulai dari usia, pekerjaan, agama dan pendidikan. Tentu saja semua itu bukan menjadi penghalang kebersamaan kami. Kalau tiba waktunya makan, ya kami duduk bersama. Kalau ada yang kelaparan ya tinggal woro-woro aja pasti ada yang nanggung. Intinya kami ini semua dalah perantau dan sesama perantau pastilah saling menjaga dan memiliki. Ya walaupun tidak semua sih. Tapi saya sangat bersyukur karena dipertemukan dengan orang-orang ini.
Dan marilah kita kembali pada penghuni baru yang notabene masih kawanan sama salah satu penghuni lama kosan kami. Awal berkenalan sih tidak terlalu kentara sifat2 yang di beberapa waktu kemudian membuat kami selalu geleng-geleng kepala. Terlepas dari segala sifat sukuisme, setiap anak dulunya pasti diajarkan untuk bertata krama dengan baik. Jika ketemu orang baru kenal senyumlah sewajarnya, berkelakuanlah sewajarnya dan jangan SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) karena ga setiap orang mau menerima sikap kita yang mungkin dianggap terlalu agresif itu. Pokoknya kalau ketemu orang pertama kali kan standarnya 3S (Senyum, Salam dan Sapa) dan yang harus perlu dicatat adalah don't too exaggagerate. Baik dalam bercerita maupun menanggapi cerita.
TAPI...alkisah selang dalam beberapa minggu kemudian, kami para penghuni lama baru menyadari kalau penghuni baru ini terlalu overreacted dan punya gangguan penyakit semua-tentang-diriku yang ga ada habisnya. Belum lagi falsafah gue bener dan loe salah. Haduuuuuh...terganggu dong harmonisasi kosan kami ini. Nah sampailah pada suatu malam ketika kami membahas tentang proses tes penerimaan CPNS yang lagi panas-panasnya di daerah kami. Meluncurlah kata-kata itu, " Kamu tahu ga, ga ada yang bersih dalam PNS. Semua pakai duit "
Karena saya satu-satunya yang berprofesi PNS tentu saja saya sangat tersungging, karena selama ini, baik saya maupun orang pernah saya kenal dan berprofesi sebagai PNS tidak ada tuh yang pakai2 uang pelicin atau apa. Memang selama ini birokrasi terkenal sangat njlimet, mumet dan ga jauh-jauh dari hepeng. Tapi...sekali lagi itu kan ga semuaaa.
Dalam bahasa Indonesia yang saya pelajar dahulu ada sebuah majas yang menunjukkan sebagian untuk semua, Totem Pro Parte. Dimana yang tadinya cuma sedikit saja yang melakukan dianggap jadi seolah-olah semuanya melakukan. Mungkin ini pula yang kemudian menjadikan setiap orang yang berprofesi PNS langsung dicap ga baik, pemalas, dan selalu meng"uang"kan segala sesuatu. Tapi ingatlah teman, akan selalu ada oknum di setiap profesi yang menjadikan profesi tersebut tercoreng moreng citranya. Karena disadari atau tidak sebetulnya jika orang yang berprofesi PNS ini menyadari betul betapa beratnya amanah yang ia tanggung, ga bakal tuh ada yang namanya korupsi, malas kerja, bolos dan UUD (ujung-ujungnya duit). Karena saat mereka dilantik mereka disumpah dan tidak tanggung-tanggung ketika jabatannya sudah sangat strategis pakai kitab suci masing-masing.
Mau tahu kenapa dulu begitu santernya kata Oemar Bakri melekat di wajah guru PNS, karena dulu PNS guru begitu miskin sampai dahulu kala profesi pegawai negeri yang satu ini kurang peminatnya. Tapi ya sekali lagi mari kita kembalikan lagi pada hati nurani masing-masing yang punya profesi. Jika ia amanah tentu saja ga bakalan ada kaidah untung rugi dalam menjalankan tugasnya. Tak ada kata Lelah, semua tergantikan dengan Lillah.
*Di hari minggu, belakang meja kantorku :')
Minggu, 31 Agustus 2014
Senin, 18 Agustus 2014
Universitas Terbuka
Padu Padan Teknologi, Keterbukaan dan Pengawasan
"...niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat..." (Q.S. Al Mujadalah : 11)
Lanjut kuliah atau bekerja dulu ya? Itulah pertanyaan mainstream yang kerap melekat di benak para calon lulusan sekolah menengah atas. Kegalauan yang merebak dimana-mana kala ujian nasional berakhir dan pengumuman kelulusan tinggal menghitung jari. Tidak seperti lulusan dari sekolah menengah kejuruan yang sedari awal memang disiapkan secara mental untuk bekerja setelah lulus. Umumnya lulusan SMA banyak yang melanjutkan kuliah baik yang murni dan sesuai dengan pilihannya maupun yang asal masuk dan ketampung biar tidak disangka pengangguran. Tapi tahukah kalau ternyata pengangguran terbuka di Indonesia ini masih cukup tinggi?
Menurut data dari BPS, di tahun 2012 angka pengangguran terbuka untuk usia produktif 15-24 tahun saja sebesar 15,24 naik 0,8 dari tahun 2011 yang hanya sebesar 14,40. Di usia ini, seharusnya generasi muda melanjutkan pendidikannya ke tingkat atas. Baik dengan kuliah maupun kursus yang setidaknya akan memberikan nilai tambah ketrampilan sehingga menunjang kemampuannya untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan. Tapi, lagi-lagi jika kita berbicara mengenai pendidikan di negeri ini, tidak akan terlepas dari kendala yang senantiasa hadir dan menjadi penghalang pemerataan pendidikan di negara tercinta ini. Mulai dari akses, biaya termasuk dilema untuk membantu keluarga dengan bekerja. Apalagi di pelosok daerah yang notabene jauh dari pantauan pusat. Jangankan untuk niat melanjutkan ke pendidikan tinggi seperti kuliah. Untuk wajib belajar saja mungkin masih banyak yang terkatung-katung dan masa bodoh, toh pada akhirnya mencari uang adalah tujuan utama untuk bertahan hidup.
Terlepas dari masih belum sempurnanya wajar (wajib belajar) di beberapa titik di daerah dan pilihan bekerja setelah lulus SMA, keinginan melanjutkan ke perguruan tinggi juga terhambat dengan ketidakflexibelan jam belajar yang mungkin harus mengorbankan jam seseorang untuk mencari penghasilan. Semakin seseorang berkutat dengan pekerjaan semakin sulit ia dalam membagi badan di dua tempat jika harus belajar dan kuliah secara reguler. Kuliah sabtu minggu untuk karyawan pun tidak selalu menjadi solusi efektif untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan. Alih-alih mendapat pengetahuan baru, tujuan seseorang melanjutkan kuliah pun mungkin tidak lebih dari sekedar menambah titel di nama mereka agar mendapatkan kenaikan gaji atau pangkat. Belum lagi untuk para pencari ilmu yang sudah kena deadline, malot (mahasiswa kolot) yang usianya jauh di atas usia mahasiswa yang seharusnya ada dalam satu angkatan.
Baiklah, mari kesampingkan semua kemungkinan motif yang hadir bagi seseorang dalam melanjutkan pendidikannya. Intinya tetap saja seseorang yang sungguh-sungguh dan mau untuk belajar pastinya akan berbeda dengan orang yang masih stagnan di tempat yang sama. Karena kesuksesan itu dirintis dengan karakter dan karakter itu dibentuk dengan pendidikan.
Nah, merujuk dari berbagai hal itulah dicarilah sebuah solusi cerdas yang juga memihak para pencari ilmu yang sedang kesulitan membagi badan di dua tempat dan tidak mau atau tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Dibentuknya Universitas Terbuka (UT) pada tanggal 4 September 1984, memberikan angin segar bagi para pencari ilmu. Karena baik yang di pelosok daerah, sibuk ataupun usianya sudah tidak memenuhi syarat lagi jika harus kuliah di tempat reguler semua bisa dilakukan di UT.
sumber: simply-sunday.blogspot.com
Gambar dalam bentuk 3D bisa dilihat di http://www.ut.ac.id/unit/3d/ (untuk yang sudah terinstall Google Earth plug-in).
Universitas Terbuka (UT) dan Teknologi
Universitas Terbuka ini dulu lebih dikenal dengan sebutan kuliah jarak jauh. Kepeloporan kuliah ini sebetulnya bukan hal baru lagi di bidang pendidikan. Awal dari kuliah jarak jauh ini sudah ada sejak seratus tahun yang lalu di Eropa dalam bentuk korespondensi (http://www.westga.edu/~distance/ojdla/fall53/valentine53.html). Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologi, pendidikan pun mengalami penyesuaian agar bisa mengiringi kemajuannya dan memanfaatkan teknologi sebagai salah satu alat penyampaiannya. Jika di kuliah reguler, mahasiswanya datang dan bertatap muka setiap saat dan kelihatan statusnya sebagai mahasiswa, maka di UT bisa dikatakan mahasiswanya antara ada dan tiada. Dosennya pun tidak berdiri di depan kelas setiap saat. Awalnya sangat ganjil memang, namun sangat flexibel. Kita tidak akan pusing tujuh keliling dengan jam kelas dan pakaian yang harus dikenakan (umumnya wanita sangat concern sama penampilan). Tambah lagi biaya irit, karena ongkos pulang pergi kuliah hampir no cost alias ga ada biaya. Semua bahan ajar terbagi dua jenis : diberikan dalam bentuk softcopy yang dikirim via web maupun email pribadi ada juga yang berupa modul. Contohnya bisa dilihat di salah satu koleksi pustaka ut http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/ebook/283/283.html.
Saya sendiri sesungguhnya sangat menyayangkan keputusan saya berhenti dari UT waktu itu karena ingin fokus di seleksi ikatan dinas. Namun ya, setidaknya saat ini saya masih menomorsatukan UT dibandingkan harus main masuk kuliah saja walaupun swasta. Tahukah kalau kita mengajukan lamaran beasiswa ke luar negeri, UT lebih diunggulkan dibanding universitas swasta? Karena di luar negeri, UT dianggap mampu mencetak orang yang berkomitmen tinggi dengan disiplin yang mumpuni untuk menghandle semua jadwal SKS yang harus diselesaikan disela-sela rutinitas pekerjaan mereka. Plus output lulusan UT ini tidak jauh berbeda dan mungkin lebih unggul dibandingkan yang kuliah reguler. Bahkan di tahun 2012 sebanyak 1628 orang sarjana lulusan UT Surabaya bahkan lulus dan ijazahnya bisa digunakan dalam sertifikasi guru (http://www.tribunnews.com/regional/2012/09/12/1.628-sarjana-ut-terima-ijazah-langsung-untuk-sertifikasi).
Kemudahan yang diberikan UT juga terlihat dari tidak perlunya mahasiswa antri di depan bagian administrasi akademik demi hanya untuk mengurusi kontrak SKS. Cukup dengan login, klik dan kontrak semua permasalah mulai dari administrasi, kontrak, nilai dan tugas langsung selesai.
Untuk lebih lanjut tentang UT, visi misi maupun cara pembelajaran bisa dilhat di www.ut.ac.id.
Masalah dalam Universitas Terbuka
Disamping banyaknya keuntungan yang ada dengan hadirnya UT, terdapat beberapa hal yang menjadi unek-unek untuk diselesaikan. yaitu:
1. Kemampuan Melek Internet
Tidak dapat dipungkiri, melek huruf, melek statistik dan melek internet masih menjadi PR besar di negara ini. Kecanggihan teknologi yang ada saat ini rupanya tidak dibarengi dengan pemerataan kemampuan untuk melek teknologi. Masih banyak orang yang asing dengan komputer, apalagi para mahasiswa "senior" yang mungkin di zaman mereka muda dulu bahkan kalkulator masih sebesar tempat pensil. Malah yang lebih buruk kadangkala internet masih disalahgunakan sebagai ajang plagiat. Kemudahan dengan adanya bahan ajar ebook membuat mahasiswanya malas mencatat dan mengandalkan copy paste untuk merampungkan tugasnya. Sehingga saat pengumpulan tugas seperti artikel maupun sejenisnya, akan banyak pekerjaan untuk meneliti apakah tulisan tersebut betul-betul ditulis dengan kemampuan sendiri atau bukan.
2. Masih Menjamurnya Joki
Joki alias orang bayaran kala ujian ternyata kerap ditemukan sewaktu ujian berlangsung di daerah. Kelas jarak jauh yang membuat lokasi ujian pun jauh dari pantauan UT pusat. Jumlah pengawas pusat yang diutus dalam jumlah terbatas dan kelihaian penyelenggara daerah dalam ujian menjadi sebuah tantangan tersendiri agar ada pengawasan yang lebih ketat sehingga kualitas hasil ujian komperhensif memang valid, jujur dan bersih.
3. Ikatan antara Mahasiswa dan Dosen
Kedudukan dosen yang sudah berubah di mata mahasiswa begitu pula sebaliknya harus menjadi catatan penting, karena di saat tatap muka sudah tidak pernah dilakukan, dosen tak akan pernah tahu sejauh mana proses mengajarnya terserap dengan baik oleh para mahasiswanya. Begitu juga para mahasiswa, dia tidak akan pernah merasa diperhatikan oleh dosennya sejauh nilai keluar dan baik-baik saja. Sejauh ini masih sedikit mahasiswa yang memutuskan untuk mengambil tutorial dengan tatap muka bersama dosen. Nilai belajar mengajar pun bergeser sedikit demi sedikit.
Banyak hal memang yang masih menjadi tantangan dalam terselenggaranya kegiatan perkuliahan Universitas Terbuka (UT) yang sukses mencetak generasi unggul yang bertambah mulia derajatnya karena mencari ilmu bukan hanya gelar. Tentu saja kerja sama yang baik antara penyelenggara (UT), dosen dan mahasiswa sangat dibutuhkan. Harapan itu ada dan perbaikan itu niscaya. Tinggal memulainya sedikit demi sedikit dari sekarang. Overall, Universitas Terbuka tetap menjadi yang terbaik dalam memberikan solusi bagi orang mau tapi tidak mampu dari segi waktu, biaya dan usia. Terakhir, selamat ulang tahun yang ke-30 bagi Universitas Terbuka (UT) semoga tetap jaya !
"Tulisan in dibuat untuk mengikuti lomba blog dari Universitas Terbuka dalam rangka memperingati HUT Universitas Terbuka ke-30. Tulisan ini adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan"
Kemudahan yang diberikan UT juga terlihat dari tidak perlunya mahasiswa antri di depan bagian administrasi akademik demi hanya untuk mengurusi kontrak SKS. Cukup dengan login, klik dan kontrak semua permasalah mulai dari administrasi, kontrak, nilai dan tugas langsung selesai.
Untuk lebih lanjut tentang UT, visi misi maupun cara pembelajaran bisa dilhat di www.ut.ac.id.
Masalah dalam Universitas Terbuka
Disamping banyaknya keuntungan yang ada dengan hadirnya UT, terdapat beberapa hal yang menjadi unek-unek untuk diselesaikan. yaitu:
1. Kemampuan Melek Internet
Tidak dapat dipungkiri, melek huruf, melek statistik dan melek internet masih menjadi PR besar di negara ini. Kecanggihan teknologi yang ada saat ini rupanya tidak dibarengi dengan pemerataan kemampuan untuk melek teknologi. Masih banyak orang yang asing dengan komputer, apalagi para mahasiswa "senior" yang mungkin di zaman mereka muda dulu bahkan kalkulator masih sebesar tempat pensil. Malah yang lebih buruk kadangkala internet masih disalahgunakan sebagai ajang plagiat. Kemudahan dengan adanya bahan ajar ebook membuat mahasiswanya malas mencatat dan mengandalkan copy paste untuk merampungkan tugasnya. Sehingga saat pengumpulan tugas seperti artikel maupun sejenisnya, akan banyak pekerjaan untuk meneliti apakah tulisan tersebut betul-betul ditulis dengan kemampuan sendiri atau bukan.
2. Masih Menjamurnya Joki
Joki alias orang bayaran kala ujian ternyata kerap ditemukan sewaktu ujian berlangsung di daerah. Kelas jarak jauh yang membuat lokasi ujian pun jauh dari pantauan UT pusat. Jumlah pengawas pusat yang diutus dalam jumlah terbatas dan kelihaian penyelenggara daerah dalam ujian menjadi sebuah tantangan tersendiri agar ada pengawasan yang lebih ketat sehingga kualitas hasil ujian komperhensif memang valid, jujur dan bersih.
3. Ikatan antara Mahasiswa dan Dosen
Kedudukan dosen yang sudah berubah di mata mahasiswa begitu pula sebaliknya harus menjadi catatan penting, karena di saat tatap muka sudah tidak pernah dilakukan, dosen tak akan pernah tahu sejauh mana proses mengajarnya terserap dengan baik oleh para mahasiswanya. Begitu juga para mahasiswa, dia tidak akan pernah merasa diperhatikan oleh dosennya sejauh nilai keluar dan baik-baik saja. Sejauh ini masih sedikit mahasiswa yang memutuskan untuk mengambil tutorial dengan tatap muka bersama dosen. Nilai belajar mengajar pun bergeser sedikit demi sedikit.
Banyak hal memang yang masih menjadi tantangan dalam terselenggaranya kegiatan perkuliahan Universitas Terbuka (UT) yang sukses mencetak generasi unggul yang bertambah mulia derajatnya karena mencari ilmu bukan hanya gelar. Tentu saja kerja sama yang baik antara penyelenggara (UT), dosen dan mahasiswa sangat dibutuhkan. Harapan itu ada dan perbaikan itu niscaya. Tinggal memulainya sedikit demi sedikit dari sekarang. Overall, Universitas Terbuka tetap menjadi yang terbaik dalam memberikan solusi bagi orang mau tapi tidak mampu dari segi waktu, biaya dan usia. Terakhir, selamat ulang tahun yang ke-30 bagi Universitas Terbuka (UT) semoga tetap jaya !
"Tulisan in dibuat untuk mengikuti lomba blog dari Universitas Terbuka dalam rangka memperingati HUT Universitas Terbuka ke-30. Tulisan ini adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan"
Tujuh Belas Agustus dan Demokrasi
Hari ini adalah pelatihan pertama setelah idul fitri terlewati. Sepanjang jalan menuju tempat pelatihan saya di Hotel Abadi Wing, Jambi, ramai dengan orang yang pawai. Ooh ya ya...pantas karena hari ini adalah hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, walaupun sudah kelang sehari. Saya antusias sekali dengan banyaknya umbul-umbul dan bendera merah putih yang terpajang hampir di sepanjang jalan. Negara ini bersukacita tentu saja, tidak murah harga yang harus dibayar untuk sebuah kemerdekaan, demi tegaknya sebuah kedaulatan yang dirintis oleh para pahlawan yang terkenang dan tercatat maupun yang terlupakan. Perjalanan panjang dengan mengikuti masa pemerintahan yang berganti berkali-kali menggoreskan catatan-catatan baik dan buruk. Termasuk dalam memahami demokrasi secara utuh.
Dari dan untuk rakyat, itulah demokrasi. Pengertian yang didapatkan ketika duduk di bangku menengah pertama persis di mata pelajaran kewarganegaraan. Setiap kali itu pula pengertian ini yang saya centang ketika ada pertanyaan di lembar ujian mengenai demokrasi. Dan seiring dengan waktu, ternyata teori ini mungkin teori sempurna yang banyak tersandung-sandung di dunia nyata. Ops...saya bukan ahli politik, hanya seorang warga yang senang sekali melihat antusias warga lainnya dalam memberikan sumbangsih yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya sedikit dari sekian banyak pendengar dan penyimak yang handal dari berita yang berseliweran di televisi dengan awamnya kemampuan menyaring mana yang benar-benar berita terpercaya. Sekali lagi saya hanyalah seorang warga yang sangat ingin negaranya dijalankan oleh orang-orang yang baik dan bersih. Yang murni akan menjalankan amanat yang diembannya untuk kesejahteraan warga.
Dan untuk kesekian kalinya, saya bukanlah politisi atau pengamat politik. Hanya seorang warga yang senantiasa berdo'a semoga tangan-tangan yang tidak terlihat itu membantu orang yang benar-benar mampu membawa negeri ini menjadi lebih baik. Yang tidak akan menghilangkan harapan dan memupuskan kepercayaan.
*Di depan televisi sambil melihat berita tentang demokrasi negeri ini
Dari dan untuk rakyat, itulah demokrasi. Pengertian yang didapatkan ketika duduk di bangku menengah pertama persis di mata pelajaran kewarganegaraan. Setiap kali itu pula pengertian ini yang saya centang ketika ada pertanyaan di lembar ujian mengenai demokrasi. Dan seiring dengan waktu, ternyata teori ini mungkin teori sempurna yang banyak tersandung-sandung di dunia nyata. Ops...saya bukan ahli politik, hanya seorang warga yang senang sekali melihat antusias warga lainnya dalam memberikan sumbangsih yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya sedikit dari sekian banyak pendengar dan penyimak yang handal dari berita yang berseliweran di televisi dengan awamnya kemampuan menyaring mana yang benar-benar berita terpercaya. Sekali lagi saya hanyalah seorang warga yang sangat ingin negaranya dijalankan oleh orang-orang yang baik dan bersih. Yang murni akan menjalankan amanat yang diembannya untuk kesejahteraan warga.
Dan untuk kesekian kalinya, saya bukanlah politisi atau pengamat politik. Hanya seorang warga yang senantiasa berdo'a semoga tangan-tangan yang tidak terlihat itu membantu orang yang benar-benar mampu membawa negeri ini menjadi lebih baik. Yang tidak akan menghilangkan harapan dan memupuskan kepercayaan.
*Di depan televisi sambil melihat berita tentang demokrasi negeri ini
Kamis, 14 Agustus 2014
Throwback Masa ST2013...
Akhirnya tulisan pertama saya di tahun 2014 terlaksana juga :). Hampa rasanya setelah sekian lama ga bisa ngutrak ngutrik keyboard untuk sekedar cuap-cuap bercerita. Apalagi tahu-tahu sudah tahun 2014 saja. Banyak pengalaman bergulir, pemandangan yang tak terekam, unek-unek yang terlupakan. Tentu saja, menuliskan unek-unek bukanlah hal yang menjadi tujuan saya menulis di blog. Apalagi di suasana hari yang hujan 'bablas' nan gelap ini, saya jadi melankolis dan mulai bernostalgia.
Terakhir saya nulis adalah tentang kegiatan besar yang lagi dilaksanakan di kantor BPS alias Badan Pusat Statistik, ST2013 ( Sensus Pertanian 2013). Kegiatan besar yang adanya sepuluh tahun sekali dan digelar hanya saat tahunnya berakhiran 3 saja. Kegiatan ST2013 ini masih adik kakak sama kegiatan besar BPS yang lain seperti Sensus Penduduk dan Sensus Ekonomi.
Banyak juga sebenarnya orang yang belum faham tentang statistik. Biasanya tiap saya sedang mencacah dulu orang-orang hanya tahu pegawai statistik sebagai pegawai sensus. Agak geli sih...tapi memang kegiatan kami tidak jauh-jauh dari yang namanya sensus dan survei plus analisis2 di dalamnya. Nah di ST2013 ini sebetulnya banyak banget suka duka yang dialami. Mulai dari pengalaman pertama saya yang luar biasa menguras otak karena yang tadinya disiapkan di teknis tiba-tiba harus mau bantuin bikin semua keperluan nonteknis. Olalala...mana bisa cakap dalam satu jam saja. Sampai pengalaman ngajar di hadapan banyak orang dengan berbagai usia dan pendidikan. Sebetulnya memang pekerjaan itu tidak ada yang memberatkan sejauh kita menyukai pekerjaan itu. Tapi booo....falsafah ini masih kuarng maknyus dalam lubuk hati saya yang terbilang masih ijo lumut di bidang pekerjaan. Nyatanya, saya pasti nangis bombay sambil kejang-kejang kalau kejadiannya kayak salah satu pegawai mitra yang kebetulan bertugas di daerah yang menurut saya super duper fantastis dan bombastis ancur lebur kayak bubur....jalannya.
Biasanya saya ga habis pikir kok bisa masih ada orang yang mau tinggal di daerah yang infrastrukturnya jelek begitu, kok yang berwenang ngurusin jalan ga turun2, kok ya didiemin saja sih jalannya rusak, gimana kalau ada ibu hamil mau melahirkan di waktu yang tak terduga? Dan banyak pertanyaan lain yang rupanya belum sampai di logika saya kalau berkaitan dengan yang namanya proyek dan anggaran.
Dan ketika saya sudah berada di ruang tahun 2014...saya baru nyadar betapa waktu itu singkat sekali berjalannya. Baru kemarin tahun baru, Idul Fitri eh sudah ketemu lagi tahun baru dan idul fitri dddaaannn sekarang sudah nangkring di Agustus. Wow dan haloooo sudah sampai dimana perjalananmu???
Aniway, saya bukan orang yang suka merepotkan diri dengan mengkhawatirkan sesuatu yang belum jelas wujudnya. Jadi, nikmatin apa yang ada dan jalani sebaik mungkin.
Terakhir saya nulis adalah tentang kegiatan besar yang lagi dilaksanakan di kantor BPS alias Badan Pusat Statistik, ST2013 ( Sensus Pertanian 2013). Kegiatan besar yang adanya sepuluh tahun sekali dan digelar hanya saat tahunnya berakhiran 3 saja. Kegiatan ST2013 ini masih adik kakak sama kegiatan besar BPS yang lain seperti Sensus Penduduk dan Sensus Ekonomi.
Banyak juga sebenarnya orang yang belum faham tentang statistik. Biasanya tiap saya sedang mencacah dulu orang-orang hanya tahu pegawai statistik sebagai pegawai sensus. Agak geli sih...tapi memang kegiatan kami tidak jauh-jauh dari yang namanya sensus dan survei plus analisis2 di dalamnya. Nah di ST2013 ini sebetulnya banyak banget suka duka yang dialami. Mulai dari pengalaman pertama saya yang luar biasa menguras otak karena yang tadinya disiapkan di teknis tiba-tiba harus mau bantuin bikin semua keperluan nonteknis. Olalala...mana bisa cakap dalam satu jam saja. Sampai pengalaman ngajar di hadapan banyak orang dengan berbagai usia dan pendidikan. Sebetulnya memang pekerjaan itu tidak ada yang memberatkan sejauh kita menyukai pekerjaan itu. Tapi booo....falsafah ini masih kuarng maknyus dalam lubuk hati saya yang terbilang masih ijo lumut di bidang pekerjaan. Nyatanya, saya pasti nangis bombay sambil kejang-kejang kalau kejadiannya kayak salah satu pegawai mitra yang kebetulan bertugas di daerah yang menurut saya super duper fantastis dan bombastis ancur lebur kayak bubur....jalannya.
Biasanya saya ga habis pikir kok bisa masih ada orang yang mau tinggal di daerah yang infrastrukturnya jelek begitu, kok yang berwenang ngurusin jalan ga turun2, kok ya didiemin saja sih jalannya rusak, gimana kalau ada ibu hamil mau melahirkan di waktu yang tak terduga? Dan banyak pertanyaan lain yang rupanya belum sampai di logika saya kalau berkaitan dengan yang namanya proyek dan anggaran.
Dan ketika saya sudah berada di ruang tahun 2014...saya baru nyadar betapa waktu itu singkat sekali berjalannya. Baru kemarin tahun baru, Idul Fitri eh sudah ketemu lagi tahun baru dan idul fitri dddaaannn sekarang sudah nangkring di Agustus. Wow dan haloooo sudah sampai dimana perjalananmu???
Aniway, saya bukan orang yang suka merepotkan diri dengan mengkhawatirkan sesuatu yang belum jelas wujudnya. Jadi, nikmatin apa yang ada dan jalani sebaik mungkin.
Langganan:
Postingan (Atom)